Di Indonesia, polemik mengenai status wartawan sering kali menjadi perbincangan hangat, terutama ketika istilah “wartawan abal-abal” muncul. Istilah ini umumnya digunakan untuk menyebut wartawan yang tidak terdaftar sebagai anggota organisasi pers yang terakreditasi oleh Dewan Pers. Meski demikian, kontribusi mereka dalam menyuarakan kontrol sosial justru sering kali lebih menonjol dibandingkan wartawan yang memiliki status resmi.
Wartawan yang tidak terafiliasi dengan organisasi resmi sering kali dipandang sebelah mata. Mereka dianggap tidak memiliki legitimasi atau standar kerja yang diakui oleh institusi seperti Dewan Pers. Namun, dalam praktiknya, banyak dari mereka yang aktif meliput isu-isu sosial, melaporkan berbagai ketimpangan, dan menyuarakan suara masyarakat kecil yang sering kali luput dari perhatian media arus utama.
Mereka bergerak di lapangan tanpa terikat aturan formal yang ketat, sehingga memiliki fleksibilitas untuk menjangkau isu-isu yang mungkin dianggap “tidak menarik” oleh media besar. Liputan mereka sering kali mencakup masalah-masalah seperti pelanggaran hak asasi manusia, korupsi di tingkat lokal, hingga persoalan lingkungan yang berdampak langsung pada masyarakat.
Di sisi lain, wartawan yang terafiliasi dengan organisasi resmi memang bekerja dengan standar profesional tertentu. Mereka terikat kode etik jurnalistik yang diawasi Dewan Pers. Namun, tak jarang ada kritik bahwa media tempat mereka bekerja cenderung mengutamakan kepentingan pemilik modal atau mengikuti agenda tertentu yang membatasi ruang gerak dalam memberitakan isu-isu kritis.
Hal ini membuat beberapa masyarakat merasa bahwa wartawan independen—meskipun dianggap “abal-abal”—lebih bebas dan lugas dalam menyuarakan kebenaran. Mereka sering kali dianggap sebagai “suara rakyat” karena keberanian mereka untuk mengungkapkan fakta tanpa harus takut kehilangan dukungan dari institusi besar.
Peran kontrol sosial adalah salah satu fungsi utama jurnalisme. Dalam hal ini, wartawan yang dianggap “abal-abal” sering menunjukkan keberanian yang lebih besar dalam mengkritik pemerintah, aparat hukum, atau institusi lain yang memiliki kekuasaan. Meski berisiko menghadapi ancaman hukum atau tekanan fisik, keberadaan mereka menjadi pengingat bahwa fungsi jurnalisme tidak hanya sekadar menyampaikan informasi, tetapi juga memperjuangkan keadilan.
Namun, tantangan yang dihadapi wartawan non-resmi ini adalah seringnya mereka dianggap tidak kredibel. Tanpa dukungan dari organisasi resmi, laporan mereka lebih mudah diragukan, meskipun fakta yang mereka ungkapkan valid. Hal ini menjadi dilema, karena terkadang substansi pemberitaan lebih penting daripada status formal wartawan.
Perdebatan antara wartawan resmi dan “abal-abal” sebenarnya mencerminkan kompleksitas dunia jurnalisme di Indonesia. Alih-alih saling merendahkan, sebaiknya semua pihak fokus pada tujuan utama jurnalisme, yaitu menyuarakan kebenaran dan menjadi alat kontrol sosial yang efektif.
Wartawan “abal-abal” mungkin tidak memiliki legitimasi formal, tetapi peran mereka dalam memperjuangkan isu-isu sosial tidak dapat diabaikan. Dalam konteks ini, pengakuan atas kontribusi mereka harus dilihat dari substansi pemberitaan, bukan sekadar status mereka di mata lembaga formal seperti Dewan Pers.
Oleh : Magel Hen