Oleh Junaidi Ismail*
PUTUSAN Mahkamah Konstitusi (MK) yang memerintahkan pemungutan suara ulang (PSU) di 24 daerah usai sengketa Pilkada 2024 seharusnya menjadi momentum bagi pemerintah pusat dan daerah untuk membuktikan komitmen terhadap demokrasi. Namun, fakta bahwa 16 daerah menyatakan tidak sanggup melaksanakan PSU karena keterbatasan anggaran justru menimbulkan pertanyaan besar, “Sejauh mana kesiapan dan keseriusan pemerintah dalam memastikan pemilu yang adil dan berkualitas?”
Di antara daerah yang mengalami kendala anggaran, salah satunya adalah Kabupaten Pesawaran di Provinsi Lampung. Ini menjadi ironi karena pelaksanaan PSU merupakan amanat hukum yang harus dieksekusi tanpa tawar-menawar. Putusan MK bersifat final dan mengikat, sehingga ketidakmampuan daerah dalam mengalokasikan anggaran untuk PSU bukan hanya menunjukkan lemahnya perencanaan fiskal, tetapi juga bisa menghambat proses demokrasi yang transparan dan adil.
Dalam sistem pemerintahan yng terdesentralisasi, daerah memang bertanggung jawab atas pengelolaan anggarannya. Namun, ketika terjadi situasi luar biasa seperti PSU yang diperintahkan MK, maka semestinya ada mekanisme darurat yang memastikan bahwa pemilu berjalan tanpa kendala finansial. Pemerintah pusat, melalui Kemendagri dan Kementerian Keuangan, harus turun tangan untuk memberikan solusi konkret, baik melalui alokasi APBN maupun skema bantuan khusus.
Usulan Wamendagri Ribka Haluk agar pemda melakukan efisiensi belanja APBD untuk membiayai PSU bisa menjadi salah satu jalan keluar. Tetapi, perlu dicermati bahwa efisiensi anggaran bukan sekadar memotong pengeluaran, melainkan memastikan penggunaaan dana yang ada benar-benar sesuai dengan prioritas. Jika PSU dianggap sebagai agenda demokrasi yang fundamental, mengapa justru tidak ada skema pendanaan yang siap?
Menunda atau gagal melaksanakan PSU berarti menunda keadilan bagi masyarakat di daerah yang terdampak. Ini bisa berimplikasi pada legitimasi pemimpin yang terpilih, memperburuk kepercayaan publik terhadap sistem pemilu, dan bahkan berpotensi menimbulkan konflik politik di daerah.
Di Kabupaten Pesawaran, misalnya, jika PSU tidak segera terlaksana, maka masyarakat akan terus berada dalam ketidakpastian. Bagaimana nasib suara mereka? Apakah mereka benar-benar mendapatkan pemimpin yang dipilih secara demokratis? Ini bukan hanya soal teknis pemilu, tetapi juga soal kepercayaan terhadap proses politik yang sehat.
Putusan MK bukanlah sekadar rekomendasi, melainkan perintah hukum yang wajib dijalankan. Pemerintah daerahh yang mengalami kendala anggaran harus segera mencari solusi, baik dengan melakukan realokasi anggaran maupun meminta intervensi pemerintah pusat. Di sisi lain, pemerintah pusat juga tidak boleh lepas tangan—membiarkan 16 daerah kesulitan menggelar PSU sama saja dengan membiarkan demokrasi terhambat oleh persoalan teknis yang seharusnya bisa diatasi.
Pilkada bukan sekadar acara politik, melainkan peneguhan prinsip demokrasi di tingkat daerah. Jika PSU dibiarkan terkatung-katung karena alasan anggaran, maka ini menjadi sinyal buruk bagi komitmen negara dalam menjamin pemilu yang adil dan transparan. Semua pihak—baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, penyelenggara pemilu, dan masyarakat—harus segera mencari solusi. Jangan sampai ketidakmampuan anggaran menjadi alasan untuk mengorbankan hak demokrasi rakyat. (*)
Penulis: Wartawan Utama Dewan Pers*)