Oleh: Junaidi Ismail, (Koordinator Poros Wartawan Lampung)
SETIAP peringatan Hari Buruh Internasional bukan hanya milik para pekerja. Ia juga menjadi panggilan moral bagi semua elemen bangsa yang percaya bahwa kemajuan sejati tak bisa dibangun di atas ketimpangan. Salah satu elemen penting itu adalah pers—penjaga nurani publik dan pilar demokrasi yang berperan vital dalam memperjuangkan keadilan sosial, termasuk bagi kaum buruh.
Namun, sejauh mana pers Indonesia hari ini hadir membela buruh? Apakah media kita cukup memberi ruang bagi suara pekerja, atau justru larut dalam arus kapital yang lebih sering menyuarakan kepentingan pemilik modal?
Hari Buruh 2025 adalah momentum yang tepat untuk merefleksikan kembali posisi strategis pers dalam membela hak-hak buruh. Bukan hanya sebagai pengamat, tetapi sebagai agen perubahan sosial.
Di tengah gempuran informasi digital yang serba cepat, suara buruh sering kali terpinggirkan. Isu ketenagakerjaan kerap dianggap “kurang menarik”, “tidak viral”, atau “berat” untuk pembaca awam. Akibatnya, narasi tentang buruh hanya muncul ketika ada aksi demonstrasi besar atau konflik industrial—bukan sebagai realitas harian yang menyentuh jutaan rakyat.
Padahal, buruh bukan hanya mereka yang turun ke jalan. Mereka adalah tulang punggung rumah tangga, penggerak perekonomian lokal, bahkan pejuang sosial di komunitasnya. Tugas pers adalah menyuarakan itu semua, menghadirkan wajah manusiawi dari data statistik ketenagakerjaan yang sering dingin dan kaku.
Melalui jurnalisme yang berempati, media bisa membangun kesadaran publik bahwa persoalan buruh bukan sekadar “isu kelas bawah”, melainkan problem keadilan sosial yang menyentuh inti demokrasi.
Pers memiliki peran unik: membongkar ketimpangan, sekaligus menawarkan ruang diskusi untuk solusi. Ketika buruh di-PHK sepihak, ketika hak atas jaminan sosial diabaikan, atau ketika pekerja perempuan dilecehkan di tempat kerja, pers tak boleh diam. Media harus menjadi ruang aman bagi korban untuk bersuara dan menuntut keadilan.
Namun lebih dari sekadar memberitakan, pers juga harus mendalami akar persoalan: bagaimana kebijakan pemerintah berdampak di lapangan, bagaimana sistem outsourcing memperlemah posisi pekerja, bagaimana globalisasi memaksa buruh bersaing dalam situasi tak setara. Inilah yang disebut jurnalisme advokasi—berpihak kepada yang lemah, bukan karena membenci yang kuat, tetapi karena ingin menyeimbangkan ketimpangan kekuasaan.
- Tentu, membela buruh bukan berarti mengorbankan etika jurnalistik. Namun perlu diakui, banyak media hari ini terjebak dalam logika pasar: klik, rating, dan iklan. Di sisi lain, pemilik media tak jarang adalah pengusaha besar yang terhubung langsung atau tak langsung dengan dunia industri.
Ini menjadi ujian berat bagi independensi jurnalis. Di sinilah pentingnya integritas redaksi: untuk tetap memberi ruang kritis, bahkan ketika itu tidak menguntungkan secara bisnis. Media publik, media komunitas, dan jurnalisme independen harus terus dikembangkan sebagai kekuatan penyeimbang di tengah arus informasi yang cenderung korporatif.
Keberpihakan media kepada buruh bukanlah bentuk agitasi, melainkan bagian dari misi kemanusiaan. Ini berarti membuka ruang narasi dari bawah: cerita petani yang kehilangan lahan, pekerja migran yang tertindas, buruh pabrik yang membentuk koperasi, hingga anak-anak buruh yang tetap semangat belajar di tengah keterbatasan.
Dengan menyajikan realitas ini, pers tak hanya menyentuh akal, tetapi juga hati. Media menjadi penghubung empati antara kelas menengah yang nyaman dengan realitas kelas pekerja yang berjuang. Di sinilah jurnalisme menemukan kekuatannya yang paling hakiki: membangkitkan kesadaran dan mendorong solidaritas.
Di daerah seperti Lampung, media lokal dan wartawan komunitas memiliki peran strategis. Mereka lebih dekat dengan realitas lapangan, lebih memahami konteks lokal, dan lebih dipercaya masyarakat akar rumput. Ketika media nasional sibuk dengan isu pusat, media lokal bisa menjadi corong aspirasi buruh perkebunan, nelayan tradisional, hingga pekerja informal di pasar-pasar desa.
Poros Wartawan Lampung percaya, kekuatan media bukan pada besar kecilnya redaksi, tapi pada keberanian dan kejujurannya menyuarakan kebenaran. Kita tidak perlu menunggu menjadi media nasional untuk membela hak-hak rakyat. Dari pinggiran pun kita bisa mengguncang pusat—asal kita konsisten berpihak pada keadilan.
Hari Buruh 2025 bukan hanya tentang spanduk dan slogan. Ini adalah ajakan untuk memilih posisi dalam sejarah: apakah kita akan berdiri di sisi yang menindas, atau di sisi yang memperjuangkan? Pers dan media, sebagai instrumen demokrasi, tidak boleh netral dalam hal ketidakadilan.
Menjadi jurnalis hari ini berarti menjadi saksi, sekaligus pelaku perubahan. Mari jadikan pena, mikrofon, dan kamera kita sebagai alat pembebasan. Bukan hanya membela buruh saat mereka terluka, tetapi juga ketika mereka membangun harapan.
Karena ketika media berdiri bersama pekerja, maka kita sedang menulis babak baru peradaban: yang lebih manusiawi, adil, dan bermartabat.
Selamat Hari Buruh 2025. (*)