Pringsewu (LM) : Ketua Dewan Pimpinan Daerah Organisasi Masyarakat Pembela Kesatuan Indonesia Bersatu (DPD ORMAS PEKAT IB) Kabupaten Pringsewu, Yoma PY, SE, bersama sejumlah warga Pekon Wates, Kecamatan Gadingrejo, berencana melaporkan Kepala Pekon Wates, Surya Dwi Saputra, ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Pringsewu. Laporan tersebut terkait dugaan penyalahgunaan kebijakan sebagai Komisaris Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Arta Guna dan Kelompok Tani (Poktan) Sentosa dalam penjualan pupuk bersubsidi.
Menurut keterangan sejumlah warga yang datang langsung ke kantor DPD ORMAS PEKAT IB pada Jumat (25/04/2025), petani di Pekon Wates diwajibkan membeli pupuk bersubsidi jenis Urea dan NPK (Poska) dengan harga yang jauh di atas Harga Eceran Tertinggi (HET). Bagi anggota Poktan Sentosa, harga pupuk ditetapkan sebesar Rp 320.000 per 100 kilogram, sementara untuk non-anggota sebesar Rp 350.000 per 100 kilogram. Adapun bagi petani yang membeli secara utang dan dibayar saat panen, pupuk dibarter dengan 70 kilogram gabah kering, senilai sekitar Rp 470.000, dengan sistem bagi hasil 40 persen untuk BUMDes dan 60 persen untuk Poktan.
“Kalau mau beli pupuk di Poktan Sentosa, ya begitu aturannya. Tapi kalau panennya dibarter, aturannya beda lagi. Kami siap bertanggung jawab atas keterangan ini,” ujar seorang warga yang diwakili AJ di hadapan Bung Yoma.
Merespons hal itu, Ketua DPD ORMAS PEKAT IB yang akrab disapa Bung Yoma atau Kiayi Yoma, menyatakan kemarahannya. Ia menilai kebijakan tersebut bertentangan langsung dengan program Presiden RI Prabowo Subianto, yang menekankan peningkatan ketahanan pangan melalui kemudahan akses bagi petani, termasuk dalam memperoleh pupuk bersubsidi.
“Ini kebijakan yang ngawur. Harga HET pupuk Urea hanya Rp 2.250 per kilogram dan Poska Rp 2.300 per kilogram. Tapi di sini dijual jauh lebih tinggi. Jelas ini membebani petani dan melanggar aturan,” tegas Bung Yoma.
Ia juga menegaskan kesiapan pihaknya untuk mendampingi warga melaporkan dugaan pelanggaran tersebut ke Kejari Pringsewu.
“Bagi ORMAS PEKAT IB, ini tidak bisa ditawar-tawar lagi. Kebijakan seperti ini seharusnya mendukung program pemerintah, bukan malah dijadikan ajang bisnis,” lanjutnya.
Bung Yoma menilai kebijakan ini tidak hanya keliru, tapi juga merugikan petani.
“Ini jelas konyol. Yang seperti ini jangan diberi ampun. Bukannya membantu, malah menyengsarakan petani,” pungkasnya.
(Indra)