Lampung Timur (LM): Tenaga Pendamping Profesional (TPP) di Kabupaten Lampung Timur terindikasi menerima honorarium yang berasal dari dana desa saat menjadi narasumber kegiatan. Padahal dalam kegiatan tersebut mereka melaksanakan tugas sesuai Surat Perintah Tugas (SPT) yang dikeluarkan Koordinator Kabupaten Lampung Timur Rahma Angelia, S.T.
SPT dimaksud diterbitkan untuk kegiatan Pelatihan Budidaya Maggot untuk Peternakan Program Dana Desa yang tertuang dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APB Desa) Tahun Anggaran 2022 di Desa Tanjung Harapan, Kecamatan Margatiga, Kabupaten Lampung Timur, yang digelar pada 28 Desember 2022.
Berdasarkan data yang diterima, kegiatan pelatihan tersebut dianggarkan Rp9.614.000 (Sembilan Juta Enam Ratus Empat Belas Ribu Pupiah). Dari jumlah tersebut, hampir separo, yakni Rp4.800.000 (Empat Juta Delapan Ratus Ribu Rupiah) digunakan untuk membayar honorarium dua narasumber yang melaksanakan tugas dalam kegiatan tersebut berdasar SPT yang ditandatangani Koordinator Kabupaten.
Selain itu, menurut informasi yang dihimpun tim media, kegiatan yang dijadwalkan digelar dua hari itu hanya dilaksanakan satu hari.
Saat dikonfirmasi terkait hal ini, salah satu koordinator kecamatan yang ada di Lampung Timur berinisial AWH membenarkan jika tenaga pendamping profesional yang menjadi narasumber bekerja berdasarkan Surat Perintah Tugas yang dikeluarkan Koordinator TPP Kabupaten Lampung Timur.
Selain itu, dia juga membenarkan jika dua tenaga pendamping profesional yang menjadi narasumber dalam kegiatan tersebut menerima honorarium.
“Iya Bang, ada pendamping yang dapat SPT tapi tetap terima honorarium saat menjadi narasumber,” ujar AWH.
AWH juga mengaku mendapat undangan untuk hadir dalam kegiatan Pelatihan Budi Daya Magot tersebut. Namun, saat ditanya terkait keabsahan Pendamping Desa yang dapat SPT tapi menerima honorarium, dia menjawab bahwa mereka punya komunitas.
“Iya, saya dapat undangan. Kalau ditanya kenapa mereka yang menjadi narasumber dan mendapat honorarium meskipun ada SPT, karena narasumber ini yang punya komunitas juga merangkap sebagai pendamping,” kata AWH melalui pesan WhatsApp, Selasa (24/1/2023).
Sementara itu, Koordinator Tenaga Pendamping Profesional Kabupaten Lampung Timur Rahma Angelia, S.T. saat dikonfirmasi terkait informasi ini tidak memberikan jawaban. Pesan yang dikirimkan juga tidak dibaca meskipun teleponnya dalam kondisi aktif (online).
Menanggapi hal ini, aktivis pemberdayaan masyarakat, Aris Hadianto, menyayangkan adanya pendamping desa dan pendamping lokal desa yang menjadi narasumber kegiatan pelatihan yang menggunakan Dana Desa dengan menerima honorarium dari tugas profesional yang memang menjadi tupoksinya.
Dia juga mempertanyakan sikap Koordinator TPP Kabupaten Lampung Timur, Rahma Angelia, ST, yang menerbitkan SPT kepada pendamping desa dan pendamping lokal desa untuk menjadi narasumber tapi tetap menerima honorarium.
“Adanya SPT itu menunjukkan apa yang dilakukan TPP tersebut merupakan tugas dari pekerjaannya, sehingga mereka dilarang menerima honorarium karena sudah mendapatkan gaji dari tugas tersebut. Anehnya Korkab malah menerbitkan SPT bukannya memberi arahan agar desa bekerja sama dengan pihak ketiga,” ujar Aris.
“Parahnya kegiatan yang semestinya dilaksanakan dua hari hanya dilaksanakan satu hari dengan pengeluaran anggaran narasumber untuk dua hari,” tegasnya.
Dia juga menyoroti pendamping yang ditugaskan mengawal regulasi agar penerapan Dana Desa tepat sasaran dan sesuai peraturan yang berlaku, malah mengakses Dana Desa sebagai upah atas pekerjaan yang memang menjadi tanggung jawabnya.
“Jika TPP melanggar kode etik semacam ini dan tidak punya jiwa pemberdayaan yang diterapkan di desa, bagaimana perangkat desa dan masyarakat bisa merasakan manfaat dana desa secara maksimal? Lalu, siapa yang berwenang mengingatkan serta benar-benar menegakkan prinsip-prinsip pendampingan,” ketus Aris.
Berdasarkan Kepmendes PDTT Republik Indonesia Nomor 143 Tahun 2022 tentang Petunjuk Teknis Pendampingan Masyarakat Desa, TPP di antaranya dilarang:
Memalsukan data, informasi dan dokumen pendampingan;
Menyalahgunakan data dan/atau informasi yang dimiliki untuk hal di luar tugas dan dapat merugikan kepentingan masyarakat Desa; Menyalahgunakan posisi untuk mendapatkan keuntungan atau
manfaat bagi diri sendiri dan/atau orang lain.
TPP juga dilarang Meminta dan menerima uang, barang, dan/atau imbalan atas pekerjaan dan/atau kegiatan dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya sebagai pendamping;
Bertindak sebagai pemborong, suplier, perantara perdagangan, maupun menunjuk salah satu suplier atau berfungsi sebagai perantara yang dapat menimbulkan konflik kepentingan di wilayah dampingannya serta membantu secara teknis pembuatan laporan pertanggungjawaban Desa;
Selanjutnya Tenaga Pendamping juga dilarang Bertindak sebagai juru bayar, menerima titipan uang, atau merekayasa
pembayaran atau administrasi atas Pemerintah Desa;
Melakukan rekayasa APB Desa untuk kepentingan pribadi, keluarga atau kelompok; Menduduki jabatan pada lembaga yang sumber pendanaan utamanya berasal dari APBN, APBD dan APB Desa. (*)