banner lampungmonitor

Sejumlah Nama Habib Disebut dalam Gugatan Uji Materiil UU Kewarganegaraan di MK

Oplus_131072
Oplus_131072
Banner-Panjang

Jakarta (LM) : Seorang advokat bernama Haji Mohammad Subhan mengajukan permohonan uji materiil terhadap Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia (UU Kewarganegaraan RI) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Permohonan yang diregistrasi dengan Nomor Perkara 14/PUU-XXIII/2025 ini telah memasuki sidang pendahuluan yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat, Hakim Konstitusi Anwar Usman, dan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih.

Dalam permohonannya, Subhan menilai Pasal 2 UU Kewarganegaraan bertentangan dengan Pasal 26 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Ia menegaskan bahwa Pasal 28D ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan, “Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”. Menurut Subhan, interpretasi gramatikal dari pasal tersebut berarti hak dalam pemerintahan hanya diberikan kepada warga negara Indonesia, baik yang berasal dari bangsa Indonesia asli maupun dari bangsa lain yang telah mendapatkan pengesahan sebagai warga negara melalui undang-undang.

Subhan mengklaim bahwa fakta di lapangan menunjukkan adanya individu dari bangsa lain yang tidak memiliki pengesahan sebagai warga negara Indonesia tetapi tetap mendapatkan jabatan di pemerintahan. Beberapa nama yang disebut dalam permohonan sebagai contoh kasus, antara lain Anies Rasyid Baswedan, yang pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia dalam Kabinet Presiden Joko Widodo pada tahun 2014, Gubernur DKI Jakarta periode 2017-2022, dan calon presiden periode 2024-2029. Selain itu, Subhan juga menyebut nama-nama seperti Habib Luthfi bin Yahya, Habib Hadi Zainal Abidin, Habib Aboe Bakar AlHabsyi, dan Haikal Hassan Baras sebagai contoh individu yang dianggap tidak memiliki pengesahan sebagai WNI namun menduduki jabatan publik.

“Fakta dan kenyataannya, telah banyak orang dari bangsa lain yang dipastikan tidak memiliki pengesahan sebagai Warga Negara Indonesia, ternyata mendapatkan kesempatan yang sama dalam pemerintahan dan/atau dalam pengisian jabatan,” ujar Subhan dalam sidang.

Pemohon meminta agar lembaga pemerintahan, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, secara konstitutif mensyaratkan bahwa individu dari bangsa lain yang ingin menduduki jabatan pemerintahan harus memiliki bukti pengesahan sebagai warga negara Indonesia sesuai dengan ketentuan undang-undang.

“Untuk menghalangi agar orang-orang dari bangsa lain yang tidak memiliki pengesahan sebagai Warga Negara Indonesia mendapat kesempatan yang sama dalam pemerintahan, maka lembaga atau badan-badan, baik eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang menjadi pintu masuk, di mana warga negara dapat ikut dalam pemerintahan, wajib secara konstitutif mensyaratkan bahwa orang-orang dari bangsa lain tersebut harus dipastikan telah memiliki bukti pengesahan sebagai Warga Negara Indonesia menurut undang-undang,” tegas Subhan.

Dalam petitumnya, Subhan meminta MK untuk menyatakan bahwa frasa “orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang” dalam Pasal 2 UU Kewarganegaraan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat kecuali dibuktikan dengan pengesahan resmi. Ia juga meminta agar MK menegaskan bahwa individu dari bangsa lain yang mencalonkan diri atau dicalonkan dalam pemerintahan harus memiliki bukti pengesahan sebagai warga negara Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih memberikan saran perbaikan permohonan. Ia menyarankan Subhan untuk menguraikan kerugian konstitusional yang dialami. “Ini yang perlu diuraikan. Kalau tidak ada kerugian hak konstitusionalnya, ya tidak bisa masuk ke pokok permohonan. Jadi harus ada uraian yang menyebutkan haknya adalah Pasal 28D ayat (3) UUD 1945, yaitu hak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Bapak merasa hak itu dirugikan karena berlakunya Pasal 2 UU Kewarganegaraan. Di mana letak kerugiannya, Pak? Nah, ini yang belum ada uraiannya,” ujar Enny.

Pemohon diberikan waktu selama 14 hari kerja untuk memperbaiki permohonan sebelum sidang dilanjutkan. Sidang ini menjadi sorotan publik karena menyentuh isu sensitif terkait kewarganegaraan dan jabatan publik di Indonesia.

 

TAG :

REKOMENDASI UNTUK ANDA

TERKINI LAINNYA