Oleh: Sudibyo
Dalam beberapa tahun terakhir, kebencian terhadap Presiden RI ke 7 Joko Widodo (Jokowi) semakin masif di media sosial. Berbagai narasi negatif tentang dirinya terus bermunculan, mulai dari tuduhan otoritarianisme, nepotisme, hingga konspirasi politik. Namun, menariknya, alih-alih melemahkan dukungan, serangan ini justru memperkuat loyalitas para pendukung Jokowi.
Fenomena ini bukan hal baru dalam politik Indonesia, tetapi dalam era digital, eskalasinya menjadi lebih cepat dan tajam. Media sosial menjadi medan pertempuran antara kelompok yang anti-Jokowi dan para pendukungnya. Setiap kritik, hujatan, atau bahkan fitnah yang dilemparkan kepada Jokowi justru menjadi amunisi bagi pendukungnya untuk semakin membela dan menegaskan kecintaan mereka terhadap sosok Presiden ke 7 Republik Indonesia ini.
Salah satu faktor yang membuat kebencian terhadap Jokowi semakin masif adalah persebaran informasi yang tidak selalu berbasis fakta. Kritik sah dalam demokrasi sering bercampur dengan hoaks dan propaganda yang disebarluaskan oleh pihak-pihak tertentu. Namun, di sisi lain, ini malah memperkokoh keyakinan pendukungnya bahwa Jokowi adalah sosok yang sedang ‘dizalimi’.
Ketika media sosial dipenuhi sentimen negatif, di dunia nyata Jokowi masih dielu-elukan di berbagai daerah. Bahkan hingga hari ini masyarakat dari berbagai daerah terus berdatangan ke rumah Pribadi Jokowi di Solo hanya untuk bersilaturahmi, terlihat jelas bahwa rakyat tetap menyambutnya dengan antusiasme tinggi. Ini menunjukkan bahwa apa yang terjadi di media sosial tidak selalu mencerminkan realitas yang sebenarnya.
Ada istilah dalam dunia komunikasi yang disebut “Efek Streisand,” yaitu fenomena di mana usaha untuk menekan atau menghapus informasi justru membuatnya semakin tersebar luas. Dalam konteks Jokowi, semakin banyak serangan terhadapnya, semakin banyak pula orang yang mencari tahu dan justru menemukan sisi positif dari saat kepemimpinannya.
Bagi pendukungnya, serangan dari kelompok anti-Jokowi dianggap sebagai bukti bahwa Jokowi masih memiliki pengaruh politik yang besar di Indonesia meski tidak lagi menjabat sebagai Presiden RI, Hal ini membuat mereka semakin fanatik dan menutup telinga terhadap kritik yang sah sekalipun.
Fenomena ini berbahaya karena semakin memperdalam polarisasi di masyarakat. Di satu sisi, ada kelompok yang membenci Jokowi secara membabi buta, sementara di sisi lain ada yang mendukungnya tanpa mau melihat kekurangan. Diskusi yang sehat semakin sulit dilakukan karena setiap kritik langsung dianggap sebagai serangan politik.
Dalam situasi seperti ini, media sosial bukan lagi tempat diskusi yang rasional, melainkan arena pertempuran ideologis yang penuh dengan ujaran kebencian, propaganda, dan disinformasi. Demokrasi yang seharusnya didasarkan pada pertukaran gagasan yang sehat justru berubah menjadi adu domba yang tidak produktif.
Kebencian terhadap Jokowi yang masif di media sosial tidak serta-merta menggerus dukungannya. Justru, semakin banyak serangan yang diterima, semakin kuat pula loyalitas para pendukungnya. Ini adalah cerminan dari dinamika politik era digital, di mana persepsi sering kali lebih kuat daripada realitas.
Namun, polarisasi yang semakin tajam ini juga membawa dampak negatif bagi demokrasi kita. Jika tidak ada upaya untuk membangun dialog yang lebih sehat dan inklusif, kita hanya akan terus terjebak dalam siklus kebencian yang tidak berkesudahan. Pada akhirnya, yang dirugikan bukan hanya Jokowi atau mereka yang anti Jokowi tetapi seluruh bangsa Indonesia.
Tabik Pun 🙏