Senyum Petani, Harga Gabah Rp 6.500/Kg dan Peluang Ketahanan Pangan Nasional

IMG-20250203-WA0012
Banner-Panjang

Oleh: Sudibyo 

 

 

Musim panen raya tahun ini membawa warna berbeda bagi para petani di Indonesia. Di tengah derasnya arus ketidakpastian global akibat perang dagang antarnegara besar, petani Indonesia justru punya alasan untuk tersenyum. Harga gabah yang berada di kisaran Rp 6.000 hingga Rp 6.500 per kilogram menjadi kabar menggembirakan yang jarang terdengar dalam beberapa tahun terakhir.

Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), rata-rata harga Gabah Kering Panen (GKP) di tingkat petani per Maret 2025 mengalami kenaikan sebesar 7,85% dibanding bulan sebelumnya. Di beberapa wilayah sentra produksi seperti Jawa Tengah, Lampung, dan Sulawesi Selatan, harga GKP bahkan menembus angka Rp 6.500/kg—jauh di atas Harga Pembelian Pemerintah (HPP) yang ditetapkan sebesar Rp 5.000/kg.

Kenaikan harga ini terjadi bersamaan dengan panen raya serentak yang digelar oleh pemerintah pusat dan daerah. Presiden Republik Indonesia, dalam kunjungannya ke Kabupaten Subang, Jawa Barat, pada awal April 2025, secara simbolis memulai panen raya nasional bersama para petani. Acara ini disambut antusias oleh petani dan masyarakat setempat, dengan harapan harga gabah tetap stabil tinggi.

Tak hanya di tingkat pusat, sejumlah kepala daerah juga turut menggelar panen raya serentak sebagai bentuk dukungan terhadap sektor pertanian. Gubernur Lampung, Gubernur Jawa Tengah, dan beberapa bupati di sentra produksi padi turut hadir langsung di sawah, memanen padi bersama petani dan mendorong peningkatan serapan gabah oleh Bulog dan koperasi tani. Hal ini menunjukkan bahwa perhatian terhadap sektor pangan kini tidak hanya menjadi wacana, tapi mulai dijalankan dalam aksi nyata.

Sementara itu, di luar negeri, dunia tengah menghadapi turbulensi perdagangan akibat meningkatnya tensi geopolitik dan perang dagang antara negara-negara seperti Amerika Serikat, Tiongkok, dan negara-negara Eropa. Konflik dagang ini telah berdampak pada terganggunya rantai pasok global, termasuk bahan pangan strategis seperti gandum, kedelai, dan beras.

Indonesia, yang selama ini memiliki ketergantungan cukup besar pada impor pangan, secara tak langsung mendapatkan tekanan untuk memperkuat produksi domestik. Inilah momen di mana pertanian lokal mendapat sinyal positif: bukan hanya dalam aspek harga, tetapi juga dukungan kebijakan.

Dalam laporan Bank Dunia edisi awal 2025, disebutkan bahwa negara-negara berkembang yang mampu menjaga ketersediaan dan harga pangan domestik akan lebih tahan terhadap guncangan global. Artinya, jika harga gabah di dalam negeri bisa terus dipertahankan pada level yang menguntungkan petani, maka Indonesia bisa masuk dalam daftar negara yang relatif stabil dalam ketahanan pangannya.

Tentu, euforia harga gabah Rp 6.500/kg bukan tanpa catatan. Dalam sejarah panjang pertanian kita, sudah terlalu sering petani diberi “kebahagiaan sesaat” saat panen raya, lalu kembali terpuruk karena tidak ada kebijakan jangka panjang yang melindungi mereka. Tantangan struktural seperti ketergantungan pada pupuk kimia bersubsidi, minimnya akses ke pasar langsung, dan dominasi tengkulak masih menjadi pekerjaan rumah yang belum tuntas.

Pemerintah perlu hadir lebih progresif. Badan Pangan Nasional bersama Bulog harus mampu menjaga harga dasar gabah tidak jatuh saat panen raya melimpah. Selain itu, perlu penguatan kelembagaan petani, koperasi tani, dan integrasi digital dalam distribusi beras, agar harga baik ini bisa dirasakan langsung oleh petani, bukan hanya pelaku distribusi di hilir.

Selain itu, isu klasik soal tata niaga beras juga harus dibenahi. Dalam catatan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), selama lima tahun terakhir terdapat kecenderungan penguasaan pasar beras oleh segelintir perusahaan besar. Jika ini terus dibiarkan, maka harga gabah yang tinggi bisa kembali menjadi mimpi semu, karena petani tetap berada di posisi tawar paling lemah.

Momentum harga gabah yang tinggi di musim panen raya ini sejatinya adalah jendela peluang. Di tengah dunia yang sedang dilanda ketidakpastian, Indonesia bisa memilih untuk memperkuat ketahanan pangan dalam negeri, mulai dari hulu hingga hilir. Dengan memberi harga yang layak bagi petani, mendorong regenerasi petani muda, hingga menjamin infrastruktur pertanian dan distribusi yang adil, kita bisa menuju swasembada yang berkelanjutan.

Senyum petani bukan sekadar cerita manis musiman. Itu adalah tolok ukur nyata kesejahteraan dan keadilan sosial di negeri agraris seperti Indonesia. Dan jika harga gabah bisa dijaga, kebijakan berpihak diperkuat, serta mafia pangan diberantas, maka senyum itu akan jadi gambaran harapan Indonesia di tengah gejolak dunia.

 

 

Tabik Pun 🙏

 

 

 

TAG :

REKOMENDASI UNTUK ANDA

TERKINI LAINNYA