Direktur JakTV Jadi Tersangka, Ancaman Demokrasi

IMG-20250417-WA0018
Banner-Panjang

Oleh: Junaidi Ismail 

(Koordinator Poros Wartawan Lampung)

 

PENETAPAN tersangka terhadap Direktur Pemberitaan JakTV dan dua advokat oleh Kejaksaan Agung dengan tuduhan menghalangi penyidikan kasus korupsi patut dipertanyakan. Tuduhan yang dilandaskan pada tindakan menyampaikan opini, membuat narasi kritis, dan menyelenggarakan diskusi publik seolah mengaburkan garis tipis antara penegakan hukum dan pembungkaman kritik.

Tindakan Kejaksaan Agung ini bukan hanya berpotensi mencederai prinsip keadilan, tetapi juga mengancam fondasi kebebasan berekspresi yang dijamin konstitusi. Jurnalis JakTV, TB, ditetapkan sebagai tersangka karena pemberitaan yang dinilai menyudutkan institusi kejaksaan. Padahal, dalam sistem demokrasi, kritik terhadap kekuasaan adalah bagian dari mekanisme kontrol sosial yang sah dan dilindungi.

Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers menegaskan bahwa kemerdekaan pers adalah hak asasi warga negara. Pasal 6 UU ini memberi mandat kepada pers untuk mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar; serta melakukan kritik terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan publik.

Maka, ketika seorang jurnalis dibungkam karena menjalankan tugas jurnalistik, itu bukan hanya serangan terhadap individu, melainkan terhadap hak publik untuk tahu. Media bukan alat propaganda, tetapi pilar keempat demokrasi yang berfungsi menjaga keseimbangan kekuasaan.

Membuat seminar, diskusi, atau bahkan konten di media sosial yang memuat kritik terhadap proses hukum bukanlah tindak pidana. Itu adalah wujud kebebasan akademik dan kebebasan berekspresi yang dijamin oleh Pasal 28E ayat (3) UUD 1945: “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”

Menggunakan narasi-narasi alternatif dalam ruang publik seharusnya dipandang sebagai kontribusi dalam membangun negara hukum yang sehat, bukan sebagai upaya menghalangi penegakan hukum.

Jika ada keberatan atas isi pemberitaan media, mekanisme pengaduan ke Dewan Pers sebagaimana diatur dalam Peraturan Dewan Pers Nomor: 01/Peraturan-DP/VII/2017 haruslah menjadi langkah awal. Menjerat jurnalis dengan hukum pidana tanpa melalui Dewan Pers adalah bentuk pelanggaran terhadap prinsip legalitas dan due process of law.

Negara demokrasi tidak boleh alergi terhadap kritik. Kritik, bahkan yang paling tajam sekalipun, adalah vitamin bagi demokrasi. Apabila institusi penegak hukum menilai setiap suara berbeda sebagai ancaman, maka kita sedang bergerak mundur menuju otoritarianisme.

Indonesia adalah negara hukum yang berdasar pada demokrasi, bukan negara kekuasaan yang membungkam suara-suara kritis. Justru di sinilah peran media, advokat, akademisi, dan publik bersuara menjadi penting—untuk memastikan hukum ditegakkan dengan adil, bukan digunakan sebagai alat kekuasaan.

Kita harus menolak segala bentuk intimidasi terhadap kerja jurnalistik dan kebebasan akademik. Demokrasi kita hanya akan tumbuh jika semua pihak, termasuk media dan masyarakat sipil, dapat menyampaikan pendapat tanpa rasa takut.

Kritik bukan musuh. Jurnalis bukan kriminal. Suara publik bukan ancaman. Mari kita lawan ketakutan dengan keberanian, dan jaga agar Indonesia tetap menjadi rumah bagi kebebasan, keadilan, dan kebenaran. (*)

TAG :

REKOMENDASI UNTUK ANDA

TERKINI LAINNYA