Bandar Lampung (LM) : Debat publik dalam rangka Pemilihan Suara Ulang (PSU) Kabupaten Pesawaran yang digelar di Hotel Emersia, Minggu (18/5/2025), menyisakan catatan kelam dalam sejarah demokrasi lokal. Alih-alih menjadi panggung adu gagasan terbuka antara dua pasangan calon Supriyanto-Suriansyah (nomor urut 1) dan Nanda-Anton (nomor urut 2), agenda penting ini justru dikunci rapat dari sorotan media massa.
Puluhan jurnalis yang hendak melakukan peliputan dilarang masuk ke arena debat. Petugas kepolisian yang berjaga di pintu masuk menerapkan pengamanan ketat dan menyaring siapa saja yang bisa masuk. Wartawan yang tidak memiliki ID Card undangan dari KPU Pesawaran diminta mundur.
“Harus ada ID Card undangan dari KPU. Kalau enggak ada, enggak boleh masuk. Kami hanya menjalankan tugas dari atasan,” kata salah satu petugas di lokasi.
Langkah ini langsung mendapat kecaman dari berbagai pihak, terutama kalangan jurnalis. Sekretaris Umum Poros Wartawan Lampung, Magel Hen, menyebut kebijakan KPU Pesawaran sebagai bentuk pengerdilan terhadap kemerdekaan pers dan transparansi informasi publik.
“Ini preseden buruk dalam praktik demokrasi. Debat publik itu seharusnya menjadi momen keterbukaan, bukan eksklusivitas. Melarang wartawan meliput secara langsung berarti mematikan fungsi kontrol sosial yang dijalankan media,” tegas Magel Hen.
Ironisnya, akses peliputan justru diberikan kepada perwakilan organisasi profesi dan bukan kepada wartawan lapangan yang selama ini menjadi ujung tombak penyebaran informasi.
“Terpaksa kami meliput dari luar ruangan sambil menyimak siaran YouTube KPU Pesawaran. Itupun tak ada layar di luar untuk menonton bersama. Kami seperti diasingkan dari proses demokrasi yang harusnya milik semua warga,” keluh seorang wartawan media lokal yang enggan disebutkan namanya.
Sikap tertutup ini dinilai aneh, sebab sebelumnya debat-debat politik skala besar seperti Debat Pilgub Lampung digelar secara terbuka dan inklusif. Media bahkan diberi tempat khusus untuk mengambil gambar, video, dan melakukan wawancara.
Hingga berita ini ditayangkan, belum ada keterangan resmi dari Komisioner KPU Pesawaran. Keheningan ini semakin memperkuat dugaan bahwa KPU Pesawaran abai terhadap prinsip transparansi yang menjadi ruh dari pemilu yang adil dan demokratis.
Kebebasan pers adalah bagian yang tidak terpisahkan dari demokrasi. Media massa tidak hanya menyampaikan berita, tetapi juga mengedukasi publik, menjadi pengawas kekuasaan, dan menciptakan ruang diskusi yang sehat.
“Ketika akses informasi dibatasi, maka ruang bagi masyarakat untuk menilai kualitas kandidat juga ikut tertutup. Ini bertentangan dengan semangat pemilu yang jujur, adil, dan terbuka,” lanjut Magel Hen.
Poros Wartawan Lampung menyerukan agar KPU, baik di tingkat kabupaten maupun provinsi, mengevaluasi serius kebijakan-kebijakan yang mengebiri hak publik untuk tahu. KPU adalah penyelenggara pemilu, bukan pemilik panggung demokrasi.
Meski mendapat larangan liputan, para wartawan tak patah semangat. Mereka tetap menjalankan tugas, meski dari luar ruangan. Dengan kreativitas dan kepekaan jurnalistik, mereka mengolah informasi dari berbagai kanal agar publik tetap mendapat gambaran utuh tentang jalannya debat.
Kisah ini menjadi pengingat bahwa profesi wartawan bukan sekadar pencari berita, tetapi penjaga pintu kebenaran. Mereka tetap berdiri tegak meski diadang pagar-pagar otoritas.
Poros Wartawan Lampung pun mengajak semua elemen media untuk terus memperjuangkan akses terhadap informasi publik dan tidak tunduk pada pembungkaman yang terselubung. Karena demokrasi tidak boleh dibungkam, dan pers tidak boleh dibisukan. (PWL)