Oleh: Junaidi Ismail | Poros Wartawan Lampung
SETIAP tanggal 1 Juni, kita memperingati hari lahirnya Pancasila, ideologi pemersatu bangsa, dasar negara yang telah terbukti ampuh menahkodai Indonesia melewati gelombang zaman. Tahun 2025 ini, kita kembali diingatkan betapa luhur dan visionernya nilai-nilai yang digali dari bumi Nusantara sendiri, bukan hasil impor pemikiran asing. Pancasila adalah wajah asli Indonesia.
Peringatan Hari Lahir Pancasila bukan sekadar seremoni tahunan. Ia adalah momentum refleksi apakah kita, sebagai warga negara, sungguh telah menghayati dan mengamalkan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari? Ataukah Pancasila hanya menjadi hiasan dinding kantor dan pembuka pidato formal?
Indonesia adalah rumah besar yang terdiri atas lebih dari 17 ribu pulau, 1.300-an suku bangsa, dan ratusan bahasa daerah. Dalam keragaman itu, hanya satu hal yang bisa mempersatukan kita kesadaran kolektif bahwa kita adalah satu bangsa. Dan Pancasila menjadi titik temu seluruh perbedaan itu.
Ketika Ir. Soekarno berpidato pada 1 Juni 1945, ia menyampaikan gagasan tentang dasar negara dengan menyebut kata “Pancasila” lima sila yang mencerminkan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia: Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan Sosial. Bukan hasil copy-paste dari bangsa lain. Ini adalah kristalisasi jiwa bangsa Indonesia sendiri.
Pancasila adalah kompromi agung. Ia menyatukan nilai-nilai agama, adat, budaya, dan rasionalitas politik dalam satu nafas kebangsaan. Di tengah dunia yang makin terpolarisasi oleh identitas sempit, Pancasila justru menawarkan jalan tengah, toleransi.
Pancasila bukan hanya milik elit. Ia tumbuh dari bawah, dari denyut nadi rakyat. Nilai-nilai gotong royong, musyawarah, keadilan, dan saling menghormati telah lama hidup di masyarakat adat dari Sabang sampai Merauke, jauh sebelum negara ini berdiri.
Di Lampung, misalnya, nilai-nilai seperti nemui nyimah (ramah dan menerima tamu) dan piil pesenggiri (menjaga harga diri dan martabat) sejalan dengan sila kedua dan kelima. Masyarakat adat Saibatin dan Pepadun telah lama mengamalkan semangat Pancasila jauh sebelum istilah itu diperkenalkan.
Oleh karena itu, memperingati Hari Lahir Pancasila adalah kembali ke akar. Kembali menyadari bahwa nilai-nilai itu bukan milik negara saja, tetapi milik kita bersama. Dari warung kopi hingga kampus, dari pasar tradisional hingga kantor pemerintah, Pancasila harus menjadi etika bersama.
Di era digital seperti saat ini, tantangan terhadap Pancasila justru semakin besar. Polarisasi politik, ujaran kebencian, hoaks, dan ekstremisme berbasis identitas kian mudah menyebar lewat media sosial. Ironisnya, ruang digital yang seharusnya menjadi arena demokrasi justru kadang menjauhkan kita dari nilai-nilai kemanusiaan dan persatuan.
Namun, di balik tantangan itu, tersimpan peluang besar. Generasi muda Indonesia yang kini mendominasi pengguna internet bisa menjadi agen pengarusutamaan Pancasila di dunia maya. Edukasi digital yang berbasis nilai-nilai kebangsaan harus terus digencarkan.
Jurnalisme juga harus kembali ke marwahnya, mencerdaskan kehidupan bangsa. Wartawan adalah ujung tombak penyampai kebenaran. Jangan biarkan kebisingan media sosial menenggelamkan suara nurani bangsa. Poros Wartawan Lampung percaya, jurnalisme yang berpijak pada Pancasila adalah jurnalisme yang membela kebenaran, keadilan, dan persatuan.
Pancasila bukan doktrin mati. Ia adalah nilai hidup yang menuntut implementasi. Keberanian untuk menegakkan keadilan, memberantas korupsi, menghapus diskriminasi, dan melindungi yang lemah adalah bentuk nyata pengamalan Pancasila.
Bagi pemerintah, Pancasila harus menjadi landasan setiap kebijakan. Tidak boleh ada hukum yang tajam ke bawah, tumpul ke atas. Tidak boleh ada pembangunan yang menyingkirkan rakyat kecil. Ketika negara menjamin keadilan sosial, itulah sila kelima dalam praktik.
Bagi rakyat, Pancasila adalah pedoman hidup. Dalam kehidupan sehari-hari, apakah kita sudah memanusiakan sesama? Apakah kita ikut menjaga harmoni antaragama, suku, dan budaya? Apakah kita peduli pada nasib saudara-saudara kita di pelosok negeri?
Sebagai insan pers, kami di Poros Wartawan Lampung meyakini bahwa wartawan adalah penjaga nurani bangsa. Tugas kami bukan hanya melaporkan fakta, tapi juga merawat akal sehat publik. Di tengah derasnya arus informasi, wartawan harus menjadi penjernih, bukan pembawa racun.
Wartawan yang berpegang pada Pancasila akan menjunjung tinggi kebenaran, melindungi korban ketidakadilan, dan menolak menjadi alat kekuasaan. Jurnalisme bukan sekadar profesi, tapi panggilan untuk menjaga demokrasi.
Hari ini, banyak anak muda mungkin merasa Pancasila hanya sekadar hafalan di sekolah. Tapi sesungguhnya, Pancasila adalah bekal untuk hidup di dunia yang semakin kompleks.
Pancasila mengajarkan keberanian untuk bersikap adil, rendah hati untuk berdialog, dan kekuatan untuk bersatu dalam perbedaan. Ini bukan warisan yang harus disimpan di museum, tapi nilai hidup yang harus diwariskan lewat tindakan.
Kepada generasi muda, jangan biarkan Pancasila menjadi slogan kosong. Hidupkan ia lewat karya, kolaborasi, dan aksi nyata. Jadilah generasi yang berpikir kritis, tetapi tetap menjunjung persatuan. Jadilah kreatif tanpa kehilangan akar budaya.
Pancasila bukan sekadar dokumen sejarah. Ia adalah rumah besar yang menaungi kita semua dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas hingga Pulau Rote. Ia adalah kompas moral yang harus terus dijaga di tengah gelombang zaman.
Hari ini, 1 Juni 2025, mari kita nyalakan kembali semangat kebangsaan. Mari kita satukan kembali kepingan-kepingan perbedaan dalam satu semangat, Indonesia Raya. (*)